Wibawa yang Sirna
Seorang guru merupakan penganti orang tua disekolah bagi anak-anak maupun remaja didalam mendidik maupun mengarahkan dalam proses pencarian jati diri.
Seorang guru memberikan petunjuk bagi muridnya bagaimana menjadi orang yang bertanggung jawab, memiliki budi pekerti dan memberikan petunjuk bagaimana menggapai masa depan.
Kewibawaan seorang guru merupakan salah satu ujung tombak agar dalam proses pendidikan, sehingga anak didik akan memberikan perhatiannya secara penuh, sama halnya dengan kewibawaan orang tua terhadap anaknya.
Namun, kewibawaan ini telah sirna dikarenakan banyaknya teori dan aturan yang terbentuk di masyarakat sehingga seorang guru hanya menjadi seekor sapi yang dicocok hidungnya, pada akhirnya anak-anak saat ini bagaikan kata kiasan di beri hati minta kepala.
Jika mengingat pada saat sekolah dahulu, dimana aturan masih minimum, namun rasa menghargai baik kepada orang tua maupun guru di sekolah masih sangat tinggi.
Kenakalan yang dilakukan oleh murid saat itu masih masuk dalam katagori kewajaran. Dan seorang guru akan mampu memberikan kartu kuning kepada anak didik mereka dan mereka akan mengingat kartu kuning tersebut agar tidak terulang kembali.
Saat ini segala sesuatu berbanding terbalik, tidak sedikit anak-anak mereka melakukkan perlawan dengan kekerasan terhadap guru mereka dengan dukungan dari orang tua dan atau mereka melakukan kekerasan terhadap orang tua mereka.
Apa yang salah dengan semua ini?
Apakah terlalu banyak aturan yang dibuat namun tidak mengena pada poin yang dituju?
Apakah terlalu banyaknya contoh-contoh negatif yang beredar dilikungan sehingga anak-anak akan mencontoh dan mengamalkannya?
Kita tidak tahu apa yang salah …
Haruskah kita harus mengembalikan kembali WIBAWA YANG SIRNA?